Posted by: phasudungansirait | June 17, 2011

Petisi 50, Kaum Nasionalis Reformis

P. Hasudungan Sirait
Suatu siang di penghujung 1994. Seperti biasa, para anggota Petisi 50 bertemu di Jl. Borobudur Jakarta, kediaman Ali Sadikin. Para tokoh seperti Anwar Haryono, HR Dharsono, SK Trimurti, Sanusi, Radjab Ranggasoli, dan Usep Ranuwiharja hadir di sana. Tuan rumah Ali Sadikin juga, tentunya. Suasana saat itu tak formal, kendati pokok bahasan umumnya serius. Kelonggaran suasana lebih terasa karena di sana ada juga tamu dan mereka boleh nimbrung.

Salah satu hal yang didiskusikan adalah soal pendekatan yang dipakai Petisi 50 selama ini. Seorang anggota melontarkan otokritik. Ia menganggap sudah kurang efektif jika pekerjaan kelompok ini hanya sebatas mengirimkan kritik tertulis ke lembaga-lembaga tertentu, terutama DPR. Di tengah arus demokratisasi seperti sekarang, menurut dia, sebaiknya Petisi 50 memainkan peran yang lebih besar. Cara-cara elitis ditinggalkan saja dan sebaliknya terjun ke bawah menggalang kekuatan dengan kelompok prodemokrasi lainnya untuk mempercepat transformasi politik. Read More…

Posted by: phasudungansirait | June 17, 2011

Perlawanan Panjang Perempuan Aceh

P. Hasudungan Sirait
Sikap diam perempuan Aceh sering disalahartikan. Mereka dianggap subordinatif dan apatis. Padahal mereka memainkan peran yang sangat aktif.

Bersama dua provinsi Indonesia, Irian Jaya dan Timor Timur, Aceh hingga kini masih berstatus Daerah Operasi Militer. Predikat ini mengindikasikan bahwa situasi belum aman di ketiga wilayah. Sehingga dengan sendirinya keadaan darurat sewaktu-waktu bisa diberlakukan. Adanya resistensi dari kelompok separatis menjadi alasan penggandaan kekuatan militer di sana.

Kondisi keamanan di Aceh sendiri sudah makin membaik. Tak seperti beberapa tahun silam, yang membuat Kopassus, Kujang (Siliwangi), Marinir, Kodam VII Brawijaya, Arhanud perlu dikerahkan secara masif ke sana membantu pasukan teritorial setempat. Pemerintah Indonesia sendiri cenderung mengesankan bahwa resistensi GAM telah kandas. Pencitraan serupa dilakukan juga untuk Organisasi Papua Merdeka dan kelompok anti-integrasi di Timtim (CNRM). Read More…

P. Hasudungan Sirait dan Rin Hindryati P
SEORANG perempuan belia tersihir oleh profesornya yang memang gemilang. Mahasiswa tahun pertama itu kemudian jadi satu dari sekian banyak pengagum sang dosen yang diberi julukan “sang penyihir dari Messkirch” karena gaya kuliahnya yang memukau. Hati sang dara berumur 18 itu begitu berbunga-bunga setelah tahu bahwa sang pria berusia 35, beristri dan ayah dua anak, tertarik padanya. Waktu itu tahun 1924. Skandal atau selingkuh pun berlangsung. Namun, posisi mereka tidak setara: yang perempuan subordinatif. Seperti kerbau dicocok hidung, ia yang sebenarnya gemilang manut pada apa pun kata kekasih. Selain karena kagum, ia mendambakan figur seorang ayah. Pasalnya, sewaktu masih bocah, ia ditinggal mati ayahnya yang direnggut sifilis.

Marburg, kota mereka, terlalu kecil untuk kedap suara selingkuh. Takut skandal tercium, sang mahaguru yang urung jadi pastor kemudian bilang, si mahasiswa tak cukup otak belajar di tempatnya. Sebaiknya pindah saja ke universitas di kota lain, Heidelberg. Sekalipun merasa dilecehkan-karena selama ini tak pernah kesulitan mengikuti kuliah-si perempuan manut. Ia pindah belajar di bawah bimbingan teman kekasih. Secara fisik berujung sudah hubungan gelap yang telah satu setengah tahun itu. Read More…

Posted by: phasudungansirait | June 16, 2011

Nasib Buruh Kita dalam Lintasan Zaman

P. Hasudungan Sirait
Ekonomi kolonial Hindia Belanda waktu itu bertumpu pada industri gula. Perkebunan dan pabrik gula di P. Jawa—terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur—menjadi basis ekonomi kolonial, setelah VOC terpuruk dan kaum liberal menggantikan peran mereka. Tak ada lagi sistem tanam paksa kala itu. Politik etis sudah meminggirkannya. Namun rakyat pribumi tetap saja melarat. Manisnya gula berbanding terbalik dengan realitas hidup keseharian mereka.

Eskalasi perkebunan-perkebunan tebu untuk mengimbangi permintaan pasar Eropa yang memang menggiurkan, telah memunculkan eksploitasi baru. Seperti dalam setiap sejarah kolonialisme, rakyat kebanyakanlah yang disakrifikasi. Dalam hal ini tanah dan tenaga mereka yang dirampas, lewat pelbagai mekanisme hukum buatan penguasa lokal (pangreh praja) yang bersekongkol dengan para investor. Secara efektif rakyat Jawa Tengah dan Jawa Timur telah disubordinasikan kepada para industrialis gula yang bermarkas di Amsterdam, Den Haag, dan Gravenhage. Read More…

Posted by: phasudungansirait | June 16, 2011

Militer dan Arus Demokratisasi

P. Hasudungan Sirait
November 1989, Tembok Berlin runtuh. Seluruh dunia terpana. Momen peruntuhan tersebut merupakan simbol paling mencolok dari perubahan besar di Eropa Timur: tumbangnya rezim-rezim totaliter. Jaruzelski di Polandia, Karoly Grosz di Hungaria, Erich Honecker di Jerman Timur, Todor Zhivkov (diktator yang berkuasa 35 tahun) di Cekoslovakia, Ceausescu di Rumania, satu per satu ambruk bagai bangun domino. Dibidani Gorbachev, Partai Komunis Uni Soviet juga rubuh. Yugoslavia tentu terimbas. Ternyata tak sampai seabad usia rezim-rezim Leninis tersebut.

Setelah Eropa Timur, perhatian orang berpaling ke Cina, Korea Utara, dan Kuba. Akankah Deng Xiaoping, Kim Il Sung, atau Castro bernasib sama? Ternyata mereka masih bertahan. Ketika meninggal (19/2/1997) Deng, 92 tahun, masih merupakan orang nomor satu di Cina. Seperti halnya Kim Il Sung di Korea Utara. Adapun Castro, ia masih memerintah dan berwibawa. Minggu ini misalnya, PM Peru Alberto Fujimori perlu berbicara dengan dia untuk mengupayakan pembebasan sandera pemberontak Tupac Maru, di Lima. Read More…

Posted by: phasudungansirait | June 16, 2011

Mencari Akar Ketegangan Pri-Nonpri

P. Hasudungan Sirait
Menjadi orang Cina tidak enak di negeri ini. Kalau kaya dibilang rakus, licik, atau pakai koneksi. Kalau miskin dikatakan aneh. Lalu, jika beramal atau aktif dalam kegiatan umum, katanya ada maunya atau cari muka. Sementara kalau cuek dicap tak tahu diri. Yang paling tak sedap, selalu saja menjadi sasaran kerusuhan massa.

Lihatlah, sejak Republik ini terbentuk etnik Cina seperti ayam kehilangan induk. Penguasa Hindia Belanda yang menempatkan mereka sebagai perantara atau juga penyanggah dalam perhubungan dengan pribumi, telah hengkang. Kini kelompok Cina harus berhadapan sendiri dengan kaum pribumi serta kelompok migran lain, yang sejak lama telah gerah melihat hak istimewa mereka. Maka setelah kemerdekaan, ‘dosa-dosa’ mereka di zaman kolonial, dihitung dan dipersoalkan. Maka mereka pun menjadi seperti pesakitan.

Sebuah keluarga yang mengalami pengadilan seperti ini adalah keturunan raja gula Semarang, Oei Tiong Ham. Perusahaan mereka, yang menjadi simbol kejayaan orang Cina di zaman Hindia Belanda, Oei Tiong Ham Concern (OTHC), disita Pengadilan Ekonomi Semarang secara mendadak pada 10 Juli 1961. OTHC—perusahaan multinasional domestik pertama di Indonesia—yang waktu itu sudah mulai bangkrut, digugat pemerintah soal pemblokiran dana cadangan Bank Indonesia di Amsterdam. Read More…

Posted by: phasudungansirait | June 16, 2011

Memilih Wapres di antara Kawan-kawan Lama

P. Hasudungan Sirait
Semakin dekat Pemilu, kian ramai pula bursa calon wakil presiden. Sementara bursa presiden sepi. Beberapa nama kini mulai disebut-sebut sebagai calon wapres. Termasuk Try Sutrisno, Habibie, Ginandjar Kartasasmita, Moerdiono, Hartono dan, yang terbaru, Buya Hasan Metareum. Adalah pernyataan Ketua Fraksi ABRI Letjen Suparman Achmad yang memicu munculnya nama-nama ini. Memang Suparman hanya menyebut bahwa ABRI sudah mengantungi nama calon untuk wapres mendatang. Tapi itu sudah cukup untuk merangsang orang mengelus jago. Tak peduli lagi kalau Kepala Staf Sospol ABRI Letjen Syarwan Hamid kemudian meluruskan pernyataan Suparman dengan menyebut Mabes ABRI belum menetapkan calon.

Ada penyebabnya sehingga banyak kalangan yang tetap percaya pada ucapan Ketua F-ABRI tadi. Yaitu manuver yang dilakukan F-ABRI dalam bursa serupa lima tahun silam. Waktu itu dalam Sidang Umum (SU) MPR, Ketua F-ABRI Harsudiono Hartas mendahului fraksi lain dalam mengajukan jago dari kubu militer yaitu Try Sutrisno. Langkah seperti ini di luar kebiasaan F-ABRI. Tapi terobosan ini bak gayung bersambut. Fraksi lain juga setuju. Maka jadilah Try yang terpilih. Bukan Wapres lama Sudharmono yang kabarnya sejak semula tak didukung ABRI. Read More…

Posted by: phasudungansirait | June 16, 2011

Membebat Luka yang Tak Kunjung Sembuh

P. Hasudungan Sirait
Waktu itu ia masih bocah. Sebagai bayi berusia setahun, masih terlalu kecil untuk mengerti apa-apa sehingga ia menganggap semuanya normal saja. Baru setelah di sekolah dasar ia mulai merasa ada yang tak lengkap dalam kehidupannya. Ayah tidak pernah berkumpul dengan mereka di rumah. Tak seperti kanak-kanak lain yang sebaya, ia tak pernah bercengkrama dengan ayah. Tak pernah diajak ke pasar untuk membeli makanan perkutut atau jalan-jalan di pematang sawah. Apalagi dibuatkan mainan.

Suatu waktu ayahnya pulang. Waktu itu, tahun 1977, ia sudah bersekolah. Tepatnya kelas 3 SD. Sejak itu ayahnya tak pernah pergi-pergi lagi. Kalaupun pergi, tak pernah lama dan jauh. Paling di dalam kota mereka saja. Kehadiran ayah tentu saja membuat suasana rumah mereka lebih hidup. Setidaknya orang bertambah. Tapi itu juga melahirkan perasaan lain di hati Ponco, sang bocah. Terlanjur merasa berjarak ia dengan orang tua itu.

Seingat Ponco, sebelumnya ia cukup sering dibawa ibunya menjenguk orang tua tersebut di sebuah tempat berkerangkeng di sebuah kota menengah Jawa Timur. Ada sebuah masa dimana ibunya besuk sekali sebulan ke tempat yang berjarak sekitar 100 Km dari desa mereka tersebut. Saat bersua Ponco selalu menyapa lelaki yang dibesuk itu dengan panggilan ‘om’. Ibu atau siapa pun yang di sana tak keberatan dengan sebutan ini. Read More…

Posted by: phasudungansirait | June 15, 2011

Konflik di Tanah Air dan Perbenturan Peradaban

P. Hasudungan Sirait
Los Angeles lumpuh. Khususnya di kawasan selatan-tengah yang berpenduduk kulit putih, kulit hitam, dan Latin. Kaum kulit hitam mengamuk dan memporak-porandakan apa saja milik kulit putih yang mereka temukan. Kejadiannya bukan di zaman Martin Luther King atau Malcom X. Tapi tahun 1992. Neraka 72 jam itu berlangsung tak lama setelah juri memutuskan bahwa Daryl Gates dkk. tak bersalah.

Daryl Gates cs. adalah polisi-polisi kulit putih yang menganiaya Rodney King si pemuda kulit hitam malang yang bukan siapa-siapa. Kalangan kulit hitam menganggap putusan juri tersebut tidak adil, sebab mereka melihat sendiri di rekaman video bagaimana Rodney King dipermak bagai binatang. Mereka lantas menyerbu jalanan. Keadaan makin kisruh karena National Guard dan polisi mengunakan bedil untuk meredakan amuk kaum hitam.

Insiden di Los Angeles memperlihatkan bagaimana rapuhnya negara adidaya AS jika isu rasialisme atau agama menerpa. Seluruh negeri berpotensi untuk dilanda prahara. Dari kejadian ini tampak bahwa ancaman riil bagi negeri Paman Sam pasca Perang Dingin bukanlah luar negeri tapi warga sendiri. Dan ancaman akan terus membayang selama jurang ketimpangan membentang. Read More…

Posted by: phasudungansirait | June 15, 2011

Kode Etik untuk DPR

P. Hasudungan Sirait
Iwan Fals pernah mengkritik wakil rakyat, lewat sebuah lagu. Judulnya Surat buat wakil rakyat. Penyanyi balada ini mencela wakil rakyat yang tak suka mendengar suara rakyat, lebih gemar diam, serta punya kebiasaan mengiyakan secara kompak bak paduan suara. “…Bicaralah yang lantang, jangan diam. Di kantong safarimu kami titipkan masa depan kami dan negeri ini/meski kami tak kenal siapa saudara…. Saudara dipilih, bukan dilotre,“ Iwan mengingatkan.

Kritik senada sebenarnya sudah banyak terlontar sebelum Iwan. Pun, masih terus mengalir hingga kini. Keberatan utama rakyat kepada para wakilnya ini adalah apa yang disebut sebagai perangai ‘5 D’ mereka. Yakni datang, duduk, diam, dengar, dan duit. Read More…

Older Posts »

Categories