Posted by: phasudungansirait | June 15, 2011

Dari Kwangju ke Tiananmen Menuntut Demokrasi

P. Hasudungan Sirait
Ketika demonstrasi mahasiswa merebak di seluruh Cina tahun 1986, pemimpin senior Deng Xiaoping memerintahkan: tindak tegas siap saja yang membuat keonaran di Lapangan Tiananmen! Mengapa yang di Tiananmen saja? Lapangan ini merupakan jantung kota yang secara historis menjadi ajang peristiwa-peristiwa akbar termasuk yang berkaitan dengan transformasi kekuasaan. Sehingga instabilitas di sana akan bisa ditafsirkan sebagai suar kerentanan negeri.

Keresahan mahasiswa tahun 1986 ini kemudian reda, kendati demokratisasi yang dituntut mahasiswa tidak digubris pemerintah. Fang Lizhi, astrofisikawan terkemuka, diganjar karena dianggap mengompori mahasiswa lewat omongannya di kampus-kampus. Idola kaum muda yang bergolak ini dibebas tugaskan sebagai wakil rektor Universitas Sains dan Teknologi serta didepak dari partai.

April 1989 kampus-kampus Cina kembali bergolak. Tuntutannya tetap sama: demokratisasi. Wu’er Kaixi, Wang Dan, serta Chai Ling yang terpilih sebagai pimpinan mahasiswa, pada 24 April menuntut PM Li Peng mundur. Mereka juga menganjurkan pemboykotan kuliah di seluruh kampus.

Suhu semakin memanas. Pada 17 Mei ribuan mahasiswa melancarkan aksi mogok makan empat hari di Tiananmen. Hari itu juga rakyat bergabung dengan mereka di lapangan termashyur tersebut. Dengan sejuta orang massa, itulah aksi protes kaum urban yang terbesar dalam sejarah Cina. Deng si pemimpin sepuh, disarankan pengunjuk rasa untuk pensiun dan menikmati hari tua saja. “Mundurlah dan pergi main bridge”, teriak mereka. Hobi Deng memang main bridge.

Setelah tujuh pekan konfrontasi dengan mahasiswa, Deng dan para pemimpin berhaluan keras kehilangan kesabaran. Kepada komandan tentara Deng mengulangi perintah yang tahun 1986 tadi. Kali ini nadanya lebih keras: “Pulihkan Lapangan Tiananmen dengan taruhan apa pun!”

Lalu, pada 2 Juni, konvoi tentara mengalir dari berbagai jurusan menuju pusat kota. Mahasiswa bersumpah tak akan beranjak dari Tiananmen. Rakyat yang bersimpati kepada mahasiswa, turun ke jalan-jalan. Jumlah mereka ditaksir 2 juta orang. Seperti dua pekan sebelumnya, bis kota, truk, puing, dan apa saja dipasangkan sebagai barikade di jalan-jalan.

Menjelang tengah malam, tentara yang sudah kalap mulai menembak siapa saja yang menghempang. Melihat massa yang belum surut, granat, bedil, dan gas air semakin sering digunakan. Tank-tank merangsek menuju lapangan, dengan melindas orang-orang tua, anak gadis, serta kanak-kanak yang berlutut merintangi jalanan. Mayat bergelimpangan di mana-mana. Subuhnya, tentara sudah berhadapan dengan mahasiswa yang bertahan di Lapangan Tiananmen. Saat dihalau, tubuh-tubuh anak muda ini menjadi asaran peluru, pentung, dan sepatu lars tentara.

Palang Merah Cina melaporkan 2.600 orang tewas dalam pembantaian di kitaran Tiananmen ini. Time menyebut sekitar 5.000 orang. Yang hilang, dan yang dibui kemudian, seribuan orang. Tak ada pengujuk rasa yang menduga bahwa akhirnya akan demikian tragis. “Kami tak pernah membayangkan bahwa pemerintah bisa begitu kejam dan barbar,” ucap Wu’er Kaixi, si pemimpin mahasiswa.

Kejadian di Tiananmen ini merupakan kelanjutan kisah aksi mahasiswa berdarah di Asia pada dekade ‘80-an. Dua insiden berdarah sebelumnya terjadi di Rangoon dan Kwangju.

Seperti tahun setahun sebelumnya, pada 1987 mahasiswa Burma kembali turun ke jalan. Tuntutan mereka kepada rezim militer setempat adalah pemulihan hak-hak sipil. Bahasa lainnya: demokratisasi. Pada 16 Maret, Lon Htein, angkatan bersenjata Burma yang terkenal represif, kembali main kayu. Mahasiswa Universitas Rangoon yang sedang berarak ke kampus Hlaing dan ke Institut Teknologi Rangoon, mereka berondong di dekat Danau Inya. Sekitar 200 mahasiswa tewas.

Juni 1987, mahasiswa Burma berkonfrontasi lagi dengan militer. Kali ini mahasiswa Institut Kedokteran yang dihadang. Dalam bentrokan ini 80 penduduk sipil dan 20 tentara tewas.

Puncak perbenturan mahasiswa, pelajar dan kaum sipil lain dengan militer Burma terjadi pada 9-11 Agustus 1987. Para diplomat Barat memperkirakan, di Rangoon saja lebih 1.000 orang tewas dalam tawuran ini. Ekornya, ribuan orang ditangkap dan semua sekolah ditutup. Menutup sekolah memang kebiasaan rezim Burma. Sejak 1962 (era Jenderal Ne Win hingga SLORC), kalau ditotal, 7 tahun sudah masa penutupan universitas. Sampai sekarang misalnya, sudah setahun lebih Universitas Ragoon, perguruan tinggi terbesar di negeri Aung San Suu Kyi itu, ditutup pemerintah.

Pergolakan masif sejenis, lebih dulu terjadi di Kwangju, Korsel. Awalnya ketika presiden Park Chung Hee ditembak mati 26 Oktober 1979. Tewasnya diktator yang berkuasa lewat kudeta tahun 1961 tersebut dipakai mahasiswa sebagai momen untuk menuntut reformasi ekonomi dan politik. Aliansi besar mahasiswa dengan warga sipil lain terbentuk, yang kemudian dikenal sebagai Minjung Hangjaeng (Gerakan Rakyat). Universitas Nasional Chonnam menjadi basis perlawanan mahasiswa kala itu.

Pada sore 18 Mei penduduk Kwangju dan Chonnam frustasi mendengar kabar bahwa Chun Doo Hwan dkk. melakukan kudeta dan menangkap Kim Dae Jung, pemimpin oposisi. Kim—yang saat ini sudah menjadi presiden—adalah putra kelahiran provinsi terbelakang tersebut. Penduduk kemudian bergabung dengan mahasiswa untuk menuntut pembebasan Kim Dae Jung dan agar Chun Doo Hwan mundur. Hal lain yang mereka inginkan adalah pencabutan hukum darurat perang dan pembukaan kembali sekolah-sekolah. Alih-alih mundur, Chun Doo Hwan memerintahkan militer untuk membungkam pengunjuk rasa. Perang meletus pada 18-20 Mei 1980. Hampir seluruh penduduk sipil turun membantu mahasiswa. Lebih 240 orang yang tewas dan ratusan terluka dalam insiden ini.

Terjalinnya aliansi akar rumput yang kokoh di kalangan sipil serta reformasi politik yang terus berlangsung di Korsel, boleh dikatakan merupakan perolehan untuk human cost besar di Kwangju tadi. Pun diajukannya dua bekas presiden yang terlibat dalam insiden berdarah tersebut—Chun Doo Hwan dan Roh Tae Woo—dan terpilihnya Kim Dae Jung sebagai presiden, baru-baru ini.

Apa yang bisa digaris bawahi dari kejadian berdarah di Kwangju, Rangoon dan Tinanamen ini? Mahasiswa—yang oleh mantan menteri P&K Daoed Joesoef disebut tak becus membuat konsep dan oleh menteri Wiranto Arismunandar dikatakan amatiran dalam berpolitik—telah menjadi elemen penting gerakan besar demokrasi di ketiga negara. Memang, tak semuanya resistensi ini sesukses aksi di Kwangju.

Mahasiswa di Cina hingga sekarang misalnya masih mencari-cari celah kebebasan. Kini, seperti tahun 1989, mereka masih terus menuntut reformasi, terutama politik. Kalau di bidang ekonomi, kepemimpinan progresif Presiden Jiang Zemin dan PM Zhu Rongji, sekarang memang sudah mulai melakukan terobosan. Tapi dalam politik mereka masih konsrvatif. Tentu saja Tiananmen berdarah bukan tak berfaedah bagi demokratisasi Cina. Prahara ini telah mempercepat persemaian bibit-bibit terbaik di negara berpenduduk terbesar sejagad tersebut. Seperti kata Orville Schell dalam Mandate of Heaven (1995), di Cina kini generasi muda mulai mengambil alih kekuasaan dari gerontocracy (pemerintahan orang-orang sepuh). Kaum muda yang tampil sebagai teknokrat, pengusaha, intelektual, disiden, atau bohemian ini sedang meretas masa depan Cina yang lebih baik sembari menghapus bayang-bayang totaliterisme dan korupsi.

Adapun kondisi mahasiswa di Rangoon alias Yangon, masih saja sangat sulit. Sejak aksi-aksi berdarah tahun ‘80-an praktis tak banyak yang berubah di dunia kampus negeri pagoda tersebut. Represi masih berlanjut dan kampus-kampus yang dianggap radikal bisa ditutup kapan saja. Kalau ada kemenangan yang dipetik mahasiswa dari perlawanan keras terhadap rezim SLORC yang kini berubah nama menjadi SPDC, itu lebih merupakan kemenangan moral. Unsur itulah yang membuat resistensi mereka tak kunjung surut, hingga kini.

Mata hati
Para penguasa yang terusik, sering menggugat dasar dan legitimasi peran mahasiswa sebagai mata hati atau kesadaran politik rakyat, seperti yang dimainkan di ketiga negara tadi serta di Indonesia, kini. “Mengapa mahasiswa, toh ada parlemen”, demikian mereka mencela. “Kalau parlemen dan lembaga pemerintah lain becus, kami akan menempuh jalur yang konstitusional,” begitu jawaban standar mahasiswa, sejak dulu. Di sini mahasiswa melihat, peran klasiknya sebagai mata hati dan kesadaran politik rakyat harus dimainkan manakala saluran dalam relasi antara kekuasaan dengan rakyatnya telah buntu serta mengakibatkan sakrifikasi sosial. Tak perlu perlu dipertanyakan asal-usul peran tersebut karena itu sudah inheren.

Demikianlah, mahasiswa bersama kaum pro-demokrasi lain maju menghadapi para penguasa korup seperti Antonio Salazar (Portugal), Jenderal Franco (Spanyol), Fulgencio Batista (Kuba), Gomez dan Perez Jimenez (Venezuela), Peron (Argentina), Ibanez (Chili), atau Syngman Rhee (Korsel). Juga menggoyang Reza Pahlevi (Iran), Ferdinand Marcos (Filipina), rezim militer Thailand, dan rezim-rezim sosialis di Eropa Timur.

Di negara-negara industri maju—Eropa Barat, AS dan Jepang—peran sebagai mata hati dan kesadaran politik rakyat ini juga pernah dimainkan mahasiswa secara intens. Tahun ‘60-an misalnya, ketika hampir seluruh kampus di dunia bergolak. Memang, tak seperti di Dunia Ketiga, gerakan mereka tidaklah dimaksudkan untuk transformasi kekuasaan, tapi lebih merupakan pelurusan aras kekuasaan. Cara populer yang dipakai adalah ketidakpatuhan sipil (civil disobedience). Ini dilakukan misalnya dengan membangkang kepada pihak universitas yang otoriter, menentang Perang Vietnam, mempersetankan tatanan resmi atau budaya yang mapan. ###


Leave a comment

Categories