Posted by: phasudungansirait | June 14, 2011

Cornel Simanjuntak, Sekali Berarti Sudah Itu Mati

P. HASUDUNGAN SIRAIT

Laporan NABISUK NAIPOSPOS

Kuman TBC kian menggila saja menggerogoti tubuhnya. Dia yang selalu bergairah akibat jiwa yang senantiasa bergelora kini sudah jauh dari  perkasa. Terkapar tak berdaya di Sanatorium Pakem dan  jauh dari segala—dari kawan-kawan yang berjuang mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamasikan serta sanak keluarga yang sejak lama ia tinggalkan di Sumatera—membuat udara dingin desa di dekat Kaliurang, Yogyakarta, tersebut ia rasakan kian menyiksa saja karena hanya mendekatkan diri  ke keterasingan. Sajak Chairil Anwar berikut semakin pas menggambarkan nestapanya hari lewat hari.

 1943

Racun berada di reguk pertama/  Membusuk rabuk terasa di dada/  Tenggelam darah dalam nanah/  Malam kelam-membelam/ Jalan kaku-lurus. Putus/  Candu/  Tumbang/  Tanganku menadah patah/ Luluh/   Terbenam/  Hilang/  Lumpuh/.  Lahir/  Tegak/ Berderak/  Rubuh/ Runtuh/  Mengaum. Mengguruh/ Menentang. Menyerang/  Kuning/  Merah/  Hitam/  Kering/  Tandas/  Rata/  Rata/  Rata/  Dunia/  Kau/ Aku /  Terpaku.

 Cornel Simanjuntak mengalami luka tembak di paha ketika bersama kawan-kawannya bertempur melawan Sekutu di bilangan Senen, Jakarta, Desember 1945. Ia, seperti dikisahkan kawannya, Binsar Sitompul (BPK Gunung Mulia 1986 dan Pustaka Jaya 1987), dirawat di CBZ yang kini bernama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Beberapa hari saja di sana ia sudah dipindahkan kawan-kawannya ke Yogya sebab terbetik berita bahwa musuh akan men-sweeping CBZ untuk mencari kaum republiken yang dirawat.   Di Yogya ia tinggal bersama Gayus Siagian, D. Djajakusuma, Suryo Sumanto, dan Usmar Ismail.

Lantas batuk kering tak berkesudahan mendera. Badannya melemah sehingga beratnya  terus menyusut.  Dokter menganjurkan agar ia disanatoriumkan saja ke Pakem. Anjuran diikuti. Tapi kondisinya yang sudah buruk, ditambah obat yang tak cukup akibat zaman sulit, membuat sekitar  lima bulan saja ia bertahan. Pada 15 September 1946 maut merenggut. Pejuang yang terakhir aktif di markas Angkatan Pemuda Indonesia (API) Menteng 31 itu pergi dalam kesepisendirian. Hari itu juga sebuah truk melaju lambat membawa jenazahnya untuk dikuburkan di permakaman umum Kerkop, di jantung Yogya. Pusaranya sederhana saja: berundak tiga yang rendah, dengan sebuah baki pedupaan di kaki  dan sebuah tangga nada di kepala. Prasasti di tingkat kedua bertulisan “Gugur sebagai Seniman dan Pradjurit C. Simandjoentak 15-9-1946 (Hersri Setiawan, 1982).

Pemuncak

Cornel Simanjuntak dan Chairil Anwar. Ada sejumlah pertautan dalam kisah hidup mereka,  selain perbedaan tentunya. Sama-sama pelopor-pemuncak di bidangnya: Chairil untuk puisi dan Cornel untuk lagu seni  atau tembang puitik (lied) yang di Indonesia lebih dikenal sebagai lagu seriosa. Mencurahkan penuh pikiran pada penciptaan karya, keduanya berumur pendek: Cornel 26 tahun dan Chairil jalan 27. Akibat hidup singkat, karya mereka tak sampai banyak; namun sebagian telah menjadi tonggak sejarah (milestone) sehingga mengekal. 

Berselisih umur sekitar satu setengah tahun (Cornel lebih tua), mereka hidup sezaman dengan lingkungan pergaulan yang dekat. Misalnya pernah sama-sama menjadi anggota Maya, perkumpulan sandiwara di masa pendudukan Jepang (1942-1945). Di kelompok ini ada Abu Hanifah, Usmar Ismail, Rosihan anwar, Djajakusuma, Sudjojono, Harry Singgih, Sumanto, dan yang lain. 

Berpendidikan Belanda (Cornel lulusan sekolah guru, Chairil sampai kelas dua di MULO), di Jakarta mereka masuk ke lingkup pergaulan elit terpelajar berlatar  belakang seniman-budayawan. Di sana mereka kemudian terimbas gelombang revolusi kemerdekaan dan mencoba berkontribusi lewat bidang masing-masing. Chairil mencipta sajak “Diponegoro”, “Aku”, “Siap Sedia” (“Kepada Angkatanku”), “Persetujuan dengan Bung Karno” atau “Prajurit Jaga Malam”.   Cornel menggubah “Pada Pahlawan”, “Indonesia Bangun”, “Maju Tak Gentar”, “Teguh Kukuh Berlapis Baja”, “Mojopahit”, “Tanah Tumpah Darahku”. “Maju Indonesia”,  atau “Sorak-sorak Bergembira”.

Dalam pembawan keseharian keduanya juga ada persamaan. Selintas tampak tak pedulian (ignore) padahal sesungguhnya pribadi yang hangat dan gemar bicara  terutama kalau sudah berada di habitatnya. Necis persamaan lainnya, yang ditandai dengan pakaian berkanji-berseterika yang selalu dikenakan.

Perbedaan mereka, kalau dicari betul, kemungkinan   tak kurang banyaknya.  Tak sekadar Chairil seorang Minang yang lahir di Medan, Islam, sempat berkeluarga; sedangkan Cornel Batak kelahiran P. Siantar, Katolik, dan bujangan.  Tapi juga gaya hidup dan latar keluarga, misalnya.  Chairil cenderung urakan atau bohemian sedangkan Cornel seorang yang berdisiplin terhadap dirinya sendiri. Pendidikan Katoliknya (selulus dari HIS Santo Fransiskus Medan tahun 1937 ia melanjut ke HIK Kolese Xaverius, Muntilan, Jawa Tengah) jelas banyak membentuk disiplin dirinya. Chairil merupakan produk keluarga broken home (ayahnya, pegawai yang gajinya berkecukupan, menikah lagi di Medan sehingga Chairil ikut ibunya yang memilih jalan melarat di Jakarta). Orangtua Cornel lengkap di Medan; ayahnya seorang reserse polisi yang berwatak keras. 

 Racun Schouten

Pasangan Tolpus Simanjuntak-Rumina Siahaan beranak sembilan (dua perempuan). Salah satunya adalah Cornel, anak gaul yang sewaktu bersekolah di HIS sudah senang musik. Tapi kemampuan musiknya waktu itu baru sebatas bergitar dan menyanyikan lagu-lagu Barat yang dipelajarinya lewat radio dan film tontonan.

Di HIK Muntilan menjadi sangat melek ia akibat  hamparan dunia lain yang memukau di depan mata.  Kendati sekolah guru, musik digarisbawahi di sana. Seperti dicatat komponis Liberty Manik (1992), kelebihan HIK ini dibanding semua HIK di zaman Belanda adalah sangat mengutamakan pendidikan musik kendati hanya pelajaran ekstrakurikuler.  Masa pendidikan di sekolah ini enam tahun, yang terdiri dari Onderbow (tiga tahun pertama) dan Bovenbow (tiga tahun terakhir).

Beruntung sekolah ini punya seorang pengajar yang sangat musikal, J. Schouten. Pater Jesuit ini menjadi master mind musik di sana.  Di masa dia kepala Onderbow kala itu, sekolah ini memiliki orkes simfoni berperangkat lengkap dengan pemain tak kurang dari 60 orang. Mereka memainkan repertoar standar orkes simfoni, termasuk karya Beethoven, Bach, Haydn, Strauss (Johan) dan Wagner. Sesuatu yang sulit dibayangkan jika membandingkan dengan sekolah-sekolah sederajat yang ada di Republik Indonesia sekarang. Musik menjadi pelajaran wajib. Setiap siswa  baru disuruh memilih satu alat musik yang ia sukai.  Kakak kelas menjadi pembimbing bagi juniornya. Mereka yang permainannya sudah bagus akan diikutkan ke orkes simfoni. Sekolah ini juga memiliki paduan suara yang saban Minggu mengisi kebaktian misa di gereja setempat.

Cornel segera menjadi perhatian Schouten  karena bakat musiknya yang menonjol. Bersuara tenor bagus—menurut Binsar Sitompul, seorang guru vokal terkenal orang Belanda di Jakarta jauh kemudian menyebut suaranya mirip Enrico Caruso, penyanyi tenor legendaris Italia—ia piawai bermusik terutama menggesek biola. Memainkan piano dan klarinet juga trampil. Di sisi lain Schouten juga kontan merebut sepenuhnya hati Cornel. Akibatnya ‘racun musik’  yang ia taburkan dalam tempo singkat saja telah merasuki jiwa sang murid.  

Seperti dikenang Liberty Manik dan Binsar Sitompul (bersama komponis musik instrumen Amir Pasaribu mereka keluaran HIK Muntilan), kalau sedang tak punya pekerjaan Schouten yang tak pernah memperlihatkan preferensinya pada murid tertentu dan pantang memuji di kelas, punya kebiasaan memanggil sejumlah murid berbakat musik ke sebuah ruangan. Di sana ia akan memainkan karya tertentu, Beethoven atau Schubert, misalnya, dan menganalisanya. Cornel rajin mengikuti kelas khusus ini. Pater ini adalah pengagum Franz Schubert. Tampaknya karena itulah Cornel juga jatuh hati pada komposer yang hanya berumur 31 tahun (1797-1828) pencipta lagu “Gretchen am Spinnrade”, lagu yang oleh para ktitikus dipandang sebagai nyaris sempurna, itu. Salah satu lagu Schubert yang paling ia sukai adalah “Ave Maria”.  

Di orkes simfoni murid yang biasa dipanggil ‘Siman’ (dari Simanjuntak) ini lekas beroleh tempat. Dari memegang biola alto ia dipercaya memainkan biola utama. Di koor pun demikian. Memiliki suara tenor terbaik sesekolah, ia pun menjadi  solis. Puncak apresiasi sekolah adalah tatkala dia diberikan kedudukan concertmaster.   

Sejak tahun-tahun pertama di Muntilan kesukaan Cornel pada puisi sudah tampak. Karya penyair Pujangga Baru seperti Amir Hamzah, Sanusi Pane, JE Tatengkeng, atau  Sutomo Djauhar Arifin ia akrabi. Salah satu yang ia paling sukai adalah buku kumpulan saja Sanusi Pane, “Madah Kelana”.  Besar kemungkinan kesukaan pada syair  ini akibat pengaruh Schubert juga.  Sangat produktif, Schubert mencipta 600 buah lagu yang sebagian memanfaatkan puisi. Seluruh karya penyair Jerman sezaman ia baca dan sebagian ia buat menjadi lieder (puisi yang dimusikkan). Goethe, Schiller, Heine, Klopstock, Muller,  Rochlitz, Erlich, Holty dan Stadder menjadi sumber inspirasinya. Juga sastrawan Inggris, Shakespeare. Di antara semuanya karya Goethe, orang yang tak menggubris persahabatan yang ia tawarkan, yang paling banyak ia pakai: 70 puisi. 

Schubert  yang mampu mencipta lagu bagus tiga sehari piawai dalam mensenyawakan  syair dan melodi. Lewat Schouten Cornel berguru ilmu menggubah pada dia. Hasilnya, terutama kepekaan dirinya pada harmoni lirik dan melodi. Liberty Manik mengatakan, dari uraian Pater Schouten dengan tepat Cornel menarik kesimpulan bahwa dalam membuat Deutsche kunstlied (seni lagu Jerman) seorang komponis lebih dulu mencari suatu saja penyair sebagai dasar gubahannya sehingga baik melodi maupun iringan piano yang akan dibuat sedapat mungkin mengekspresikan isi sajak yang sudah dipilih. 

Tampaknya terkena ‘efek Schubert’,  sewaktu masih di Muntilan, kepada junior yang juga  temannya, Binsar Sitompul, Cornel pernah mengatakan “Madah Kelana” kaya bunyi dan tuturannya halus berirama; seperti mengundang saja untuk dijadikan lagu. Kelak ia memang mengeksplorasi karya Sanusi Pane tersebut dalam sebuah overture drama berjudul sama (di samping mencipta lagu “Tanah Tumpah Darahku”, “Kemuning”, “Wijaya Kusuma”, dan “Kenangan”). Juga menggubah karya Tatengkeng (“Kupinta Lagi”) dan Usmar Ismail (“Pada Pahlawan”, “Teguh Kukuh Berlapis Baja”, “Mojopahit”, dan  “Citra”).

Pada 1942, tahun kelima Cornel di Muntilan dan menjelang ujian akhir,  pasukan Jepang mendarat. HIK Muntilan terpaksa tutup karena guru-gurunya yang bule pulang kalau tidak ditawan. Dalam kondisi seperti itu ijazah darurat pun diberikan kepada Cornel dan kawan-kawan setingkat yang dianggap telah memenuhi kualifikasi. Berbekal ijazah inilah ia mengajar di sebuah sekolah dasar di Magelang. Lagu “Mekar Melatiku” sempat ia hasilkan di sana.

Beberapa bulan saja dia menjadi guru di kota yang dekat Muntilan tersebut. Kegiatan rutin menjemukan dirinya. Ke Jakarta ia akhirnya bertolak di  awal 1943. Mulanya ia menjadi guru di SD Van Lith. Ketika Kantor Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) berdiri, ia .bergabung dengan bagian musiknya.  Di kantor ini ia bergaul erat dengan komponis Jepang Nobuo Lida dan menimba ilmu musik dari dia.

Tugas Cornel di Keimin Bunka Shidosho adalah mencipta lagu propaganda untuk penguasa Jepang. Berbekal ilmu musik yang ia miliki, tak sulit bagi dia menunaikannya. Banyak lagu ia hasilkan termasuk “Asia Sudah Bangun”, “Hancurkan Musuh Kita”, “Awaslah Inggeris dan Amerika”, “Mars Pasukan Sukarela”, “Puji Kepada Heiho”,  “Bekerja”, “Di Kebun Kapas”, “Bikin Kapal”, “Menabung”, dan “Di Pabrik”. Ciri khas ciptaannya adalah liriknya lugas-sederhana sehingga mudah dimengerti oleh siapa saja, nadanya provokatif, tapi dengan musikalitas yang tetap terjaga.  Oleh penguasa Jepang ciptaan berlimpah  ini disiarluaskan—lewat radio publik yang dipasang dimana-mana—ke seluruh negeri termasuk pelosok terjauh sehingga dengan sendirinya penciptanya menjadi terkenal. Lewat radio yang sama pula lagu lain yang terbebas dari propaganda, seperti “Kupinta Lagi”  (lagu koor yang memanfaatkan syair Tatengkeng ini merupakan salah satu karya terbaik dia) mengudara. Pun lagu “Taufan” dan “Pada Pahlawan”. Ia sendiri yang memimpin koor ketika ketiganya diradiokan.

Lagu “O Angin”, “Kemuning”, “Kenangan”, “Mekar Melati” atau “Citra” sudah dikenal publik ketika Binsar Sitompul memutuskan pindah ke Jakarta di penghujung 1943 ikut Cornel di rumah kontrakannya di Jl. Purbaya 21, Tanah Tinggi. Di rumah sederhana tapi berpiano itu berdiam juga Gayus Siagian, dan    Johannes Tambunan. Ditempati oleh Batak bujangan, kediaman ini dikenal orang sekitar sebagai rumah musik. Hanya saja ketika Binsar bergabung, piano di rumah ini tak pernah lagi disentuh Cornel sebab pikiran sang komponis sudah lebih ke jurusan lain.

Kehadiran Jepang segara membuat mutu kehidupan rakyat merosot. Keadaan kian buruk setelah Jepang mulai kelabakan menghadapi Sekutu di pelbagai palagan. Seperti dikisahkan Binsar Sitompul, bertiga dengan Gayus dan Cornel mereka pun pernah (di akhir 1944) harus menjual arang untuk menghidupi diri.

Sesuai perkembangan keadaan, rumah musik di. Jl. Purbaya 21 lantas berubah menjadi markas pemuda pergerakan sejak awal 1945. Cornel pun berpaling dari dunia musik dan kian lama kian masuk ke mata pusaran gerakan politiik membela kemerdekaan.

Asrul Sani berkisah (dalam tulisannya di “Gema Suasana”, 1948). Suatu hari dia bertemu Cornel. Waktu itu Cornel turun dari sebuah kendaraan dekil berlumpur karena dipakai terus-menerus. Menjawab Asrul komponis itu berucap: 

“Kalau Saudara hendak mencari saya, jangan cari di rumah. Saya ada di markas API, Menteng 31. Buat sementara waktu saya meninggalkan musik. Saya sekarang merasa bebas sebebas-bebasnya dan dengan kebebasan yang saya perdapat ini saya tentu akan dapat menghalang jiwa saya. Saya tidak ingin perasaan kebebasan itu hilang. Kalau kemerdekaan kita diambil orang, ia pun akan turut hilang. Sekarang ada pertempuran untuk kebebasan ini. Saya tersangkut dalamnya.”

Tentang lagu propaganda ciptaannya ia juga menjawab Asrul Sani.  Dengan membuat lagu-lagu itu, ia menyatakan, dirinya bukan lagi berkhianat tapi sudah menafikan diri sendiri. Sudah menjadi tukang pembuat lagu yang menerima order dari siapa saja. Tapi ia mengingatkan bahwa dirinya berkontribusi juga.

“Tetapi bagi saya sebetulnya ini suatu korban. Kita ini hanya perintis saja. Rakyat kita hanya mengenal toonladder [tangga nada]  yang mempunyai 5 suara. Bagaimana mereka akan dapat mengerti dan menghargai lagu-lagu yang terdiri dari lebih  5 suara, apalagi simfoni-simfoni atau musik-musik klasik berat?  Tetapi sekarang bagaimana? Lagu-lagu bestelan yang diperlukan Jepang untuk propaganda, yang terdiri dari suara-suara yang lengkap telah dimasukkan ke desa-desa, ke gubuk-gubuk. Lagu-lagu itu dinyanyikan di parit-parit, bekerja di kebun-kebun, oleh orang-orang yang selama ini mengenal  toonladder yang bersuara 5 itu. Jangan lihat keindahan lagu itu, baik bunyi ataupun arti, tetapi lihatlah hasilnya, toonladder yang mempunyai 7 suara telah sampai ke lapisan rakyat kita yang paling bawah. 

Kita tidak usah mengarang simfoni untuk sementara waktu. Schubert atau Stravinsky lama baru akan lahir di sini. Di Eropa lain halnya di sini. Waktu Beethoven lahir, ia telah mendengar Handel dan Bach, demikian berturut-turut. Jiwa itu telah lahir bersamanya ke dunia. Kita di sini tidak. Saya baru kenal Beethoven waktu saya hampir dewasa. Semuanya barang usang yang masih baru bagi kita. Yang pertama-tama dapat kita lakukan ialah memasukkan kesanggupan menangkap perasaan musik ke dalam dada rakyat kita. Menurut saya dalam hal ini ada juga sumbangan saya.”

Persuaan itu yang terakhir bagi keduanya. Cornel kemudian Ikut bertempur di Tanah Tinggi, Senen dan Kramat.   Pahanya pun kena tembak; jalan dia mendekam di Pakem, tempat yang kala itu identik dengan dua jenis insan malang: penderita TBC dan orang gila.

Tembang puitik    

Masa 1943-1945 merupakan puncak kreativitas Cornel, orang yang menurut Asrul Sani, “tidak pernah menganggap hidup ini sebagai main-main dan selalu mencari hal-hal yang tersembunyi di balik sesuatu benda atau kejadian”. Selain sejumlah karya yang telah disebut, waktu itu ia juga menghasilkan “O, Ale Alogo” dan “Andigan Ma”. 

Cornel pernah mengatakan bahwa lagu yang baik adalah yang syair dan melodinya bersenyawa. Persenyawaan harus sampai pada detilnya, seperti alunan dan tekanan antara kata dan melodi. Syair dan melodinya harus saling mengisi dan mendukung dalam mencapai klimaks atau anti-klimaks. Masalahnya, dalam konteks Indonesia hal seperti itu tak mudah dibuat. Dalam artikel di majalah Arena  yang ia tulis setibanya di Yogya tahun 1946, dia menyebut tekanan bahasa Indonesia berbeda bahkan bertentangan dengan sifat tekanan musik. Kata Indonesia umumnya mempunya tekanan pada suku kedua dari belakang (kecuali suku kedua dari belakang tersebut terdapat e pepet sehingga tekanan kata otomatis berpindah ke suku terakhir. Sedangkan tekanan kalimat lagu biasanya terletak pada nada akhir). Bagaimana hal ini bisa diatasi?

Untuk mengatasi masalah ini atau memperlembek pertentangan, menurut Liberty Manik,  Cornel menawarkan dua jalan keluar. Pertama, menyusun teks buat lagu dengan mengusahakan agar untuk suku kedua dari akhir kata dicarikan e pepet. Seperti dalam “Maju Tak Gentar.” Kedua, menggandai nada terakhir suatu kalimat lagu sehingga nada terakhir tersebut menimbulkan sebuah syncope (hilangnya bunyi atau huruf di tengah kata).  Cornel, kata Liberty,  melakukan kedua cara itu dalam karyanya. Alhasil keganjilan nada praktis tak  terasa.    Seperti  “O, Angin” dan “Kemuning”.

“O, Angin” dan “Kemuning’ merupakan karya yang paling dipuji Liberty Manik.  Doktor musik lulusan Jerman ini menyebutnya sebagai dua lagu seni (kunstlied) dalam arti yang sebenarnya, yang merupakan permata berharga bagi perbendaharaan lagu-lagu seni Indonesia.  “Baik melodi maupun akkor dari iringan pianonya nampaknya seluruh diabdikan pada keindahan gerak dan tekanan kata. Jarang kita menjumpai lagu Indonesia dimana melodi dan syair berpadu sebegitu organis,” ucap pencipta “Satu Nusa Satu Bangsa”. 

O, Angin

O, angin, bawa keluhku,

bersama kau, melalui pegunungan hijau

kepada ’dinda yang amat tercinta

Bawa keluhku bersama kau

O, angin, bawa cintaku, 

kepada dara tercinta tidak ketara,

kepada m’lati, si jantung hati.

Bawa cintaku kepada dara Karya Cornel Simanjutak, menurut penyanyi sopran Indonesia terkemuka saat ini, Binu D. Sukaman, merupakan repertoar standar yang perlu diketahui, dipelajari dan diyanyikan setiap penyanyi tembang puitik atau seriosa Indonesia. Dalam beberapa kurikulum sekolah musik   ciptaan Cornel termasuk repertoar yang diharuskan. Karya-karya itu mulai dari yang bersifat sederhana, melodius, cantik, dengan harmoni yang mudah dinikmati, dan penggunaan syair yang mudah dicerna—seperti "Mari Berdendang" dan "Mekar Melati"—hingga lagu-lagu yang mempunyai harmoni yang lebih kompleks dan tingkat penguasaan yang lebih sulit seperti "Kemuning" dan "O Angin" dan "Wijaya Kusuma", yang didasarkan pada puisi Sanusi Pane.  “Lagu "O Angin" dan "Kemuning" itu indah.  Tapi untuk membawakannya dituntut teknik menyanyi yang sulit karena melodi-melodi  panjang dan interval-interval antar not  yang mengharuskan penguasaan pernapasan dan pelafalan  yang khusus juga. Di samping pendalamam syair yang mengharuskan penyanyi membaca serta menyanyikan apa  yang tertera di antara jalinan kata dan melodi; to  read between the lines,” papar Binu.

Kemuning

Kemuning, waktu dahulu aku menanti di bawah daunmu

dan aku selalu melihat adinda mendapatkan daku

Kami membisikkan cinta berganti-ganti.

Sekarang aku menanti sudah lama, sesudah bertahun tiada bersua:

Tidak datang seorang pun jua.

Kemuning, dimana gerangan adinda utama 

Lagu-lagu Cornel, menurut pengamatan Binu, telah menjadi lagu standar pada setiap kompetisi vokal. “Itu yang saya amati di setiap acara Bintang Radio dan Televisi. Itu semua karena Cornel Simanjuntak merupakan tokoh penting dalam musik vokal di Indonesia, khususnya jenis musik seriosa atau tembang puitik.”

Penulis Hersri Setiawan dalam artikelnya bertahun 1982 menyebut Cornel tokoh terkemuka Angkatan ’45 di bidang musik,  estetik maupun artistik. Pelopor dan peletak dasar bagi musik Indonesia baru, yang terobosannya jadi model bagi komponis lain.  Dia di bidang musik, menurut Hersri,  sama dengan Chairil Anwar di bidang sastra. Sebelum terobosan Cornel, menurut penulis yang lama tinggal di Eropa ini, masyarakat kita praktis hanya mengenal  lagu keroncong, stambul, atau langgam. Sehingga tak heran kalau lagu “Indonesia Raya” yang dinyanyikan massa dalam rapat akbar di lapangan Ikada, Jakarta, pada 19 Agustus 1945, terdengar dalam berbagai cengkok. Hersri menulis:

“Lalu apa yang dilakukan Cornel lebih lanjut? Pada dua hal, massa dan musik. Pada massa, ia memelek-nadakan rakyat Indonesia dengan sekaligus memberikan dasar pendidikan musik secara praktis. Cara yang ditempuh ialah dengan menggubah lagu-lagu mars yang umumnya sederhana dan mudah, dengan bahasa Indonesia yang baik namun mempunyai daya agitatif, padat tapi juga orisinal.”

Cornel Simanjutak meninggal sekitar 61 tahun silam. Pada 1957, tepat 11 tahun setelah ia meninggal, sebuah konser digelar untuk memperingati dia. Dipimpin Nortier Simanungkalit, paduan suara beranggota 500 pelajar dan mahasiswa membawakan karya-karyanya. Mereka diiringi 70 musisi yang dipimpin Nicolai S. Varfolomeyeff. Waktu itu, menurut Hersri, makam anak Siantar ini di Kerkop juga diperbaiki.  Pada 1978 sang komponis yang menerima Satya Lencana Kebudayaan secara anumerta (1962) ini kembali mendapat perhatian: dengan upacara resmi jenajahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Semaki, Yogya. Kini, setelah 61 tahun lampau, nama sang seniman-pejuang sesekali masih disebut orang. Selain dalam konteks ciptaannya, juga untuk merujuk tempat tertentu. Di antaranya sebuah ruas jalan di Yogyakarta yang menghubungkan Pakem dengan Terban yang tak jauh dari kampus UGM Bulaksumur, dan sebuah taman di Jakarta. Ya, untung juga namanya telah diabadikan untuk tempat tertentu sehingga masih lumayan acap disebut. ###

 20o8


Leave a comment

Categories